www.JinProperti.com - Duluuuuuu sekali di tahun 1995, saat naik pesawat adalah barang mahal, saat gaji masih kecil, saat saya masih kerja setahun di Pulau Batam, saya pernah pulang dari Batam naik kapal milik Pelni. Start dari pelabuhan Sekupang Batam dan tujuan akhir adalah di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Satu hal menarik yg saya ingat saat itu adalah bahwa saya membawa 2 tas. Satu tas besar berisi baju-baju, dan satu tas lagi adalah ransel berisi perlengkapan darurat. Jangan ketawa ya, saya ini paranoid. Saking takutnya kalau-kalau kapal tenggelam, saya membawa satu tas ransel khusus berisi beberapa bungkus mie instan, tempat minum berisi air putih (waktu itu belum ada air mineral kemasan), dan beberapa bungkus roti pisang keju.
Bayangan saya, andai terjadi musibah kapal tenggelam, saya akan mencari pelampung lalu melompat ke air laut dengan membawa ransel tadi. Setidaknya saya akan mampu survive di laut selama beberapa hari asal tidak dimakan ikan, hehe ....
Sobat properti, bersikap paranoid itu terkadang mungkin dianggap lebay. Terlalu berlebihan. Seperti kisah saya naik kapal membawa ransel diatas. Tapi sebuah pelajaran penting pernah saya hadapi terkait dengan hubungan saya selaku MPK (Mitra Pemilik Keahlian) dengan seseorang yang memposisikan diri sebagai MPM (Mitra Pemilik Modal).
MPM tersebut sudah setuju menjadi investor sebuah proyek yang saya kelola seluas 3 ha di sebuah kota di Jawa Tengah, dengan potensi laba 9 milyar, dimana MPM saya janjikan profit sharing 35%, asalkan bersedia menanamkan modalnya sebesar 1,5 milyar.
Tentu saja saat presentasi kepada MPM saya menyiapkan ACTION PLAN yang menjelaskan detail berapa omset, berapa budget biaya, berapa kebutuhan modal, berapa lama umur proyek, dan berapa potensi labanya. Tentu saja dilengkapi dengan proyeksi cash flow bulanan.
Dalam kasus tersebut, didalam proyeksi cash flow dijelaskan detail bahwa modal 1,5 milyar akan disetorkan MPM secara bertahap sebesar 300 juta selama 5 bulan berturut-turut.
Setoran ke 1 s/d ke 3 berjalan lancar. Pada saat setoran bulan ke 4, MPM ternyata megap-megap tak mampu menyetorkan modalnya. Saya kelimpungan. Proyek sedang berjalan kencang-kencangnya malah amunisinya tidak ada akibat MPM gagal menjalankan kewajibannya. Saya jatuh bangun dan babak belur menghadapi tagihan kontraktor serta kebutuhan operasional. Harus memberikan talangan pribadi dulu supaya proyek tidak macet.
Kondisi itu berlangsung sampai pertengahan bulan ke 5. MPM benar-benar membuat saya yang mengelola proyek kelimpungan. Sampai kemudian MPM datang lagi di pertengahan bulan ke 5 menyetorkan modal 300 juta lagi sehingga total setorannya menjadi 1,2 milyar. MPM mengatakan itu setoran modal terakhir yang sanggup dia jalankan. Kekurangan 300 juta lagi tak sanggup dia penuhi dan MPM meminta dicarikan MPM bayangan dengan diberikan profit sharing yang dipotongkan dari haknya.
Akhirnya saya carikan lagi modal 300 juta dari MPM bayangan, dengan menjanjikan profit sharing 7,5% yang saya potongkan dari hak MPM pertama, sehingga sisa hak MPM pertama tinggal 27,5% saja.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus diatas?? Jangan percaya 100% kepada MPM. Karena bisa saja terjadi didalam perjalanan proyek ternyata MPM kesulitan menyetor modal. Bukan karena MPM tak punya duit, tapi mungkin karena duitnya dipakai untuk keperluan lain.
Jadi solusinya?? Setoran modal MPM jangan dicicil atau diangsur, tapi harus disetorkan dimuka supaya ada jaminan bahwa setoran modal terpenuhi. Jangan takut membuat MPM tersinggung karena seakan kita tidak percaya kepadanya. Tapi jelaskan bahwa sikap paranoid kita ini semata-mata demi kelancaran proyek.
Modal yang sudah tersedia di saldo kasbank akan membuat kita lebih save dan nyaman menjalankan proyek. Sediakan payung sebelum hujan. Bawalah mie instan dan air minum sebelum kapal tenggelam, hahaha ...
0 Komentar
Penulisan markup di komentar