Kasih Sayang Guru
Red: Damanhuri Zuhri
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asep Sapa'at
Bagi anak, pendidikan merupakan hak. Bagi orang tua dan guru, pendidikan merupakan kewajiban. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS at-Tahrim[66]: 6).
Ali Ibnu Abu Thalib menjelaskan, cara untuk menjaga diri dan keluarga adalah dengan mengajar dan mendidik anak-anak. Mendidik anak berarti memuliakan mereka. Menelantarkan anak berarti menjerumuskan diri dan keluarga ke dalam neraka.
Mendidik dan mengajar adalah tugas orang tua dan guru sebagai pendidik. Kedua ikhtiar ini membutuhkan kesabaran dan keikhlasan. Caranya pun harus dilakukan dengan penuh kasih sayang. Bukan dengan cara menghardik dan menghajar.
Karena, sikap kasar cenderung merusak pikiran dan jiwa anak-anak. Merawat anak-anak mesti dengan rasa welas asih. Menghardik berbeda dengan mendidik. Menghajar berbeda dengan mengajar. Menghardik dan menghajar tak mungkin terjadi jika guru menjadikan rasa kasih sayang sebagai cara terbaik mendidik anak-anak.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak punya belas kasihan, niscaya tidak akan dikasihani” (HR Bukhari). Guru harus mendidik dengan kasih sayang dan penuh perhatian.
Mendidik dengan kasih sayang bisa tampak melalui sikap hidup yang ditunjukkan guru kepada murid. Guru punya kewajiban sekaligus etika dalam mendidik anak dengan landasan kasih sayang. Pertama, guru adalah orang tua bagi murid-murid.
“Sesungguhnya aku bagi kalian tiada lain hanyalah seperti orang tua kepada anaknya. Aku mengajari kalian.” (Ibnu Majah melalui Abu Hurairah).
Kedua, guru menyadari anak merupakan amanah titipan dari Allah SWT. Tak ada istilah anak kandung dan anak tiri. Semua murid harus diperlakukan bak anak kandung. Guru bertanggung jawab penuh atas cara dan proses pendidikan murid di sekolah.
Imam Al Ghazali berkata, “Hak guru atas muridnya lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal.” Peran guru sungguh amat penting dan strategis bagi pendidikan anak di sekolah.
Ketiga, cara perhatian guru kepada murid yang proporsional. Guru tak berlebihan dalam memberikan penghargaan dan hukuman. Jangan pelit tapi juga tak mengumbar pujian. Jangan enggan dan ragu, tapi juga tak setiap saat memberikan teguran.
Sikap baik ini membangun cara pandang guru yang tepat terhadap sosok anak pintar dan anak nakal. Anak pintar dan nakal bisa jadi sumber cobaan bagi guru. Anak pintar bisa menjebak guru jadi bersikap terlena dan merasa hebat.
Mendidik anak pintar menjadi sosok rendah hati pun bukan perkara mudah. Sebaliknya, anak nakal bisa meruntuhkan batas kesabaran guru. Tak jarang guru yang tak mampu menguasai hawa nafsunya bisa menghardik, bahkan memukul anak.
Ibnu Khaldun pernah berkata, “Barang siapa yang menerapkan pendidikannya dengan cara kasar dan paksaan terhadap orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya, para budak, atau para pelayannya, maka orang yang dididik olehnya akan dikuasai oleh serbaketerpaksaan. Keterpaksaan akan membuat jiwanya merasa sempit dan sulit untuk mendapatkan kelapangan.”
Jika guru menggunakan cara-cara kekerasan saat mendidik anak, makna mendidik jadi kehilangan esensinya. Nilai-nilai kemanusiaan pada diri anak menjadi tergerus. Dampaknya akan membuahkan anak didik yang berjiwa lemah, labil emosinya, lemah tekad dan inisiatif, serta punya citra diri yang buruk.
Mendidik dan memberikan tuntunan merupakan sebaik-baik hadiah paling indah bagi anak. Dan sebaik-baik cara mendidik anak adalah proses yang didasari rasa kasih sayang.
Karena itu berarti guru menyadari bahwa dirinya sedang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan menjunjung tinggi nilai Ilahiah dalam mengajar dan mendidik anak.
Sumber : http://khazanah.republika.co.id
Bagi anak, pendidikan merupakan hak. Bagi orang tua dan guru, pendidikan merupakan kewajiban. Firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS at-Tahrim[66]: 6).
Ali Ibnu Abu Thalib menjelaskan, cara untuk menjaga diri dan keluarga adalah dengan mengajar dan mendidik anak-anak. Mendidik anak berarti memuliakan mereka. Menelantarkan anak berarti menjerumuskan diri dan keluarga ke dalam neraka.
Mendidik dan mengajar adalah tugas orang tua dan guru sebagai pendidik. Kedua ikhtiar ini membutuhkan kesabaran dan keikhlasan. Caranya pun harus dilakukan dengan penuh kasih sayang. Bukan dengan cara menghardik dan menghajar.
Karena, sikap kasar cenderung merusak pikiran dan jiwa anak-anak. Merawat anak-anak mesti dengan rasa welas asih. Menghardik berbeda dengan mendidik. Menghajar berbeda dengan mengajar. Menghardik dan menghajar tak mungkin terjadi jika guru menjadikan rasa kasih sayang sebagai cara terbaik mendidik anak-anak.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak punya belas kasihan, niscaya tidak akan dikasihani” (HR Bukhari). Guru harus mendidik dengan kasih sayang dan penuh perhatian.
Mendidik dengan kasih sayang bisa tampak melalui sikap hidup yang ditunjukkan guru kepada murid. Guru punya kewajiban sekaligus etika dalam mendidik anak dengan landasan kasih sayang. Pertama, guru adalah orang tua bagi murid-murid.
“Sesungguhnya aku bagi kalian tiada lain hanyalah seperti orang tua kepada anaknya. Aku mengajari kalian.” (Ibnu Majah melalui Abu Hurairah).
Kedua, guru menyadari anak merupakan amanah titipan dari Allah SWT. Tak ada istilah anak kandung dan anak tiri. Semua murid harus diperlakukan bak anak kandung. Guru bertanggung jawab penuh atas cara dan proses pendidikan murid di sekolah.
Imam Al Ghazali berkata, “Hak guru atas muridnya lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal.” Peran guru sungguh amat penting dan strategis bagi pendidikan anak di sekolah.
Ketiga, cara perhatian guru kepada murid yang proporsional. Guru tak berlebihan dalam memberikan penghargaan dan hukuman. Jangan pelit tapi juga tak mengumbar pujian. Jangan enggan dan ragu, tapi juga tak setiap saat memberikan teguran.
Sikap baik ini membangun cara pandang guru yang tepat terhadap sosok anak pintar dan anak nakal. Anak pintar dan nakal bisa jadi sumber cobaan bagi guru. Anak pintar bisa menjebak guru jadi bersikap terlena dan merasa hebat.
Mendidik anak pintar menjadi sosok rendah hati pun bukan perkara mudah. Sebaliknya, anak nakal bisa meruntuhkan batas kesabaran guru. Tak jarang guru yang tak mampu menguasai hawa nafsunya bisa menghardik, bahkan memukul anak.
Ibnu Khaldun pernah berkata, “Barang siapa yang menerapkan pendidikannya dengan cara kasar dan paksaan terhadap orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya, para budak, atau para pelayannya, maka orang yang dididik olehnya akan dikuasai oleh serbaketerpaksaan. Keterpaksaan akan membuat jiwanya merasa sempit dan sulit untuk mendapatkan kelapangan.”
Jika guru menggunakan cara-cara kekerasan saat mendidik anak, makna mendidik jadi kehilangan esensinya. Nilai-nilai kemanusiaan pada diri anak menjadi tergerus. Dampaknya akan membuahkan anak didik yang berjiwa lemah, labil emosinya, lemah tekad dan inisiatif, serta punya citra diri yang buruk.
Mendidik dan memberikan tuntunan merupakan sebaik-baik hadiah paling indah bagi anak. Dan sebaik-baik cara mendidik anak adalah proses yang didasari rasa kasih sayang.
Karena itu berarti guru menyadari bahwa dirinya sedang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan dan menjunjung tinggi nilai Ilahiah dalam mengajar dan mendidik anak.
Sumber : http://khazanah.republika.co.id
0 Komentar
Penulisan markup di komentar