Jin Properti - Suatu ketika saya sedang menemui seorang pemilik tanah seluas 8000 m2 (tepatnya 8.012 m2), yang berniat menjual tanahnya seharga Rp 300.000/m2, tetapi tidak laku-laku juga meski sudah dipajang di Toko Gabus dotcom selama berbulan-bulan. Sudah pasang iklan baris berkali-kali di koran tak juga deal. Nitip ke agen properti di beberapa tempat juga tak ada kabar gembira. Orang ini mungkin sudah agak frustasi menjual tanahnya.
Lahannya tak begitu jelek. Lokasi tak jauh dari keramaian fasilitas publik. Cuma jalannya agak jelek. Tapi menurut perhitungan saya, dengan sedikit sentuhan kasih sayang, lahan ini bisa diolah dan dipasarkan. Saya tahu persis Pemda setempat sangat intens melakukan program aspalisasi. Siapa tahu tahun depan jalan jelek ini sudah beraspal.
Kamipun bertemu di sebuah Cafe yang menjual donut dan kopi. Saat kami bertemu, sudah dikondisikan oleh mediatornya bahwa saya adalah calon mitra kerjasama, bukan buyer yang akan membeli lahannya. Saya sengaja tidak menawar harga tanahnya, supaya pemilik tanah merasa happy. Harganya masih pantas koq.
Saya sampaikan kepada pemilik tanah yang bernama pak Ribut tersebut, bahwa saya menawarkan diri menjadi mitra kerjasama beliau, dan siap menjalankan peranan dalam 2 opsi, yaitu;
OPSI A
Hanya sebagai MPK (Mitra Pemilik Keahlian) alias bertindak sebagai profesional saja. Artinya pak Ribut bertindak selaku MPT (Mitra Pemilik Tanah) sekaligus MPM (Mitra Pemilik Modal).
OPSI B
Bertindak selaku MPK (Mitra Pemilik Keahlian) sekaligus MPM (Mitra Pemilik Modal). Saya datang sebagai profesional yang membawa keahlian sekaligus membawa modal. Dan pak Ribut hanya bertindak sebagai MPT (Mitra Pemilik Tanah).
Atas 2 opsi diatas, pak Ribut memilih Opsi B karena dia mengaku hanya punya tanah akan tetapi tidak punya modal sama sekali untuk disertakan dalam pengembangan proyek.
Mengingat harga satuan tanah per meter persegi sudah disepakati, maka langkah selanjutnya adalah menyepakati berapa profit sharing masing-masing pihak. Sebelum menyampaikan penawaran, saya bertanya sekali lagi kepada pak Ribut mengenai 2 opsi;
Apakah lahan miliknya yang menjadi obyek kerjasama boleh diagunkan ke bank untuk mendapatkan kredit konstruksi? Atau tidak diijinkan untuk diagunkan ke bank? Saya sudah mempersiapkan opsi penawaran 55:45 jika lahan bisa diagunkan, dan 70:30 jika lahan tak bisa diagunkan.
Ternyata pak Ribut memilih opsi lahan tak boleh diagunkan, sehingga saya menyodorkan tawaran 70:30 kepada pak Ribut, dimana bagian pak Ribut selaku MPT (Mitra Pemilik Tanah) hanya 30% saja.
Pak Ribut mengernyitkan dahi. Katanya; "Kenapa bagian saya cuma 30% saja? Bukannya lahan saya sudah jelas nilainya 2,4 Milyar. Sedangkan modal pak AW belum kelihatan berapa nilainya. Koq enak sekali bisa dapat porsi lebih besar?" Rupanya pak Ribut komplain dengan penawaran yang saya sodorkan.
Dengan tenang saya yang sudah terlatih menghadapi hal seperti ini menjelaskan seperti ini;
"Pak Ribut, saya datang kesini atas referensi seorang rekan yang mengatakan bapak kesulitan menjual lahan bapak dan membutuhkan mitra kerjasama. Sebagai pengembang saya ingin 'membantu' bapak untuk membuat aset yang susah dijual tersebut menjadi liquid, masih ditambah added value berupa profit sharing 30%. Selain itu setiap tahun sekali kami berikan kenaikan harga tanah otomatis sebesar 10%. Jadi bapak jangan memposisikan saya sebagai pihak yang semata-mata datang untuk membeli lahan milik bapak atau memanfaatkan lahan milik bapak, tetapi kita mau bersinergi dengan kepentingan yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Saya datang bawa modal dan skill buat membantu bapak lho. Modal saya masih bebas mau dibenamkan atau dilarikan kemana saja mencari peluang yang menguntungkan. Sedangkan bapak sudah terjebak memegang aset lahan yang (maaf) tidak liquid. Jika bekerja-sama dengan bapak tidak memberikan benefit yang bagus buat kami, maka kami akan mencari peluang lainnya saja."
Sobat properti, penjelasan saya kepada pak Ribut menegaskan posisi saya adalah mendukung kepentingan pak Ribut yang kesulitan membuat asetnya menjadi liquid. Hubungan kami adalah memanfaatkan dan dimanfaatkan. Simbiosis mutualisma. Kemudian saya lanjutkan lagi sebagai berikut;
"Lagipula pak Ribut perlu paham bahwa lahan bapak belumlah diserahkan sepenuhnya kepada kami. Buktinya lahan bapak tak boleh diagunkan. Buktinya siapa yang nanti bisa melepaskan hak atas lahan tersebut tetaplah bapak sendiri yang akan menanda-tangani AJB PPAT."
"Jika bicara soal resiko, maka resiko justru ada di pihak kami. Kenapa? Karena kami membikin jalan, saluran, gerbang, taman, dan juga bangunan diatas lahan milik bapak yang kami sendiri tak bisa menanda-tangani AJB PPAT-nya alias menjual kepada konsumen."
"Saya menganggap dalam konteks kerjasama ini bapak belumlah sepenuhnya menyerahkan aset lahan senilai 2,4 milyar tersebut kepada kami. Melainkan kita hanya bekerja-sama secara PARSIAL dengan perhitungan per UNIT PRICE seperti perincian dibawah ini ....."
Dalam perhitungan diatas, saya membuatkan sebuah breakdown atas beberapa komponen penyusun harga jual tanah dan bangunan, dengan secara khusus memisahkan berapa kontribusi MPT, dan berapa kontribusi (MPK + MPM). Jelas-jelas kontribusi MPT hanyalah tanah mentah saja yang diperhitungkan dalam harga efektif (netto), sementara sisanya merupakan kontribusi kami semua, yaitu biaya desain perijinan, biaya pematangan lahan biaya overhead cost, dan biaya lain-lain (sambung listrik, sambung air, retribusi IMB, split SHGB, fee sales).
Dengan membuat simulasi atas 2 type rumah T-36/72 dan T-45/90, muncul komposisi prosentase yang berada di kisaran 75:25. Penyertaan pemilik tanah lebih kecil dibanding penyertaan kami sebagai mitranya. Jadi kalau kami menawarkan 70:30, mestinya dia happy.
Dalam workshop properti yang saya ajarkan, biasanya saya sebut simulasi menghitung kontribusi penyertaan modal per-unit price masing-masing pihak sebagai JURUS BEDAH HARGA RUMAH. Ini adalah jurus andalan buat meyakinkan pemilik tanah secara teknikal, kenapa bagian dia lebih kecil dibanding bagian kita sebagai mitra. Perhitungan teknikal yang membuat pak Ribut berhenti meributkan soal bagiannya yang lebih kecil dibanding bagian kita yang menjadi mitranya.
Dalam kasus harga tanahnya masih dibawah harga bangunan, maka porsi kita lebih dominan. Akan tetapi jika harga tanah sudah sama atau diatas harga bangunan, maka berapa porsi pemilik lahan bisa anda tawarkan berdasarkan cara menghitung yang diajarkan didalam JURUS BEDAH HARGA RUMAH.
Maaf saya tak bisa menjelaskan lebih detail perihal simulasi diatas, khususnya darimana muncul angka-angka biaya desain perijinan, pematangan lahan, dan overhead cost. Bagi yang belum pernah ikut kelas workshop, sementara anda telan saja konten yang utama bahwa kita sangat pantas meminta bagian lebih besar dibanding bagian pemilik lahan, karena kita lakukan bedah harga jual rumah per unit price.
0 Komentar
Penulisan markup di komentar