Guru sedang upacara. Foto: dok.JPNN
TANGERANG - Pelaksanaan dua kurikulum di Kabupaten dan Kota Tangerang bikin guru di sekolah negeri dan swasta pusing.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di dua wilayah tersebut menilai peralihan Kurikulum 2013 (K-13) ke Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) banyak masalah teknis.
Ketua PGRI Kabupaten Tangerang, Kosrudin mengatakan, penerapan dua kurikulum dalam setahun dianggapnya sebagai sejarah baru dan masalah bagi dunia pendidikan.
Ketua PGRI Kabupaten Tangerang, Kosrudin mengatakan, penerapan dua kurikulum dalam setahun dianggapnya sebagai sejarah baru dan masalah bagi dunia pendidikan.
Menurutnya peralihan dari K-13 ke KTSP seperti halnya penerapan kurikulum baru sehingga menyulitkan guru, kepala sekolah sampai wali murid. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang KTSP juga sangat minim.
"Penerapan KTSP membutuhkan buku sumber, buku pegangan guru, buku administrasi kelas, buku nilai, buku raport dan lainnya. Tidak mungkin kita memakai instrumen K-13, sementara sejak penggunaan K13 semua sarana dan prasarana penunjang KTSP sudah tidak digunakan lagi ada hilang dan kebanyakan sudah rusak. Ini masalah buat guru dan sekolah," ujarnya saat dihubungi Satelit News (Grup JPNN), kemarin.
Lanjut Kosrudin, seharusnya pemerintah pusat memikirkan dampak teknis seperti ini sehingga tidak menjadi polemik lagi di daerah. Terlebih, sekolah tidak mungkin menarik iuran atau biaya untuk pembelian buku dari wali murid karena akan memicu gejolak lagi.
"Kalaupun ada buku-buku KTSP, itupun sangat sedikit dan sulit dicari. Kita juga bisa menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), karena sudah digunakan untuk yang lain. Guru makin dibuat pusing oleh pemerintah," tegasnya.
Masalah lainnya kata Kosrudin, peluang terjadinya pengulangan materi pelajaran sangat besar. Semisal materi itu sudah diberikan di Semester 1 dengan K-13, namun masuk ke KTSP di semester 2 bisa jadi ada materi yang sudah dipelajari muncul.
Lanjut Kosrudin, seharusnya pemerintah pusat memikirkan dampak teknis seperti ini sehingga tidak menjadi polemik lagi di daerah. Terlebih, sekolah tidak mungkin menarik iuran atau biaya untuk pembelian buku dari wali murid karena akan memicu gejolak lagi.
"Kalaupun ada buku-buku KTSP, itupun sangat sedikit dan sulit dicari. Kita juga bisa menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), karena sudah digunakan untuk yang lain. Guru makin dibuat pusing oleh pemerintah," tegasnya.
Masalah lainnya kata Kosrudin, peluang terjadinya pengulangan materi pelajaran sangat besar. Semisal materi itu sudah diberikan di Semester 1 dengan K-13, namun masuk ke KTSP di semester 2 bisa jadi ada materi yang sudah dipelajari muncul.
Selain itu, ada juga masalah penilaian dan pengunaan buku raport. "Masalah-masalah ini memang membutuhkan perhatian serius," katanya.
Terpisah Pemerhati Pendidikan Kota Tangerang, Dr Age Taufiq mengaku kecewa dengan Pemkot Tangerang yang mengambil kebijakan tetap menggunakan Kurikulum 2013. Padahal, banyak kendala yang dihadapi di masing-masing sekolah terutama bagi pelaksana tingkat pendidikan dasar.
Terpisah Pemerhati Pendidikan Kota Tangerang, Dr Age Taufiq mengaku kecewa dengan Pemkot Tangerang yang mengambil kebijakan tetap menggunakan Kurikulum 2013. Padahal, banyak kendala yang dihadapi di masing-masing sekolah terutama bagi pelaksana tingkat pendidikan dasar.
"Alih-alih K-13 mengurangi beban siswa, justru kondisinya malah sebaliknya. Secara kuantitatif jumlah mata pelajaran siswa tingkat SMP, pada KTSP berjumlah 11 mata pelajaran sedangkan pada K13 menjadi 10. Tetapi pengurangan jumlah mata pelajaran tersebut sejatinya tidak mengurangi beban siswa, tetapi justru memberatkan, karena jumlah jam pelajaran yang dalam KTSP berjumlah 32 jam pelajaran bertambah menjadi 38 jam per minggu. Sedangkan untuk SMA/SMK pada KTSPsebelumnya berjumlah 38 jam bertambah menjadi 48 jam per minggu pada K13," terangnya.
Menurutnya, walaupun K-13 secara teoritis bagus untuk para siswa tetapi bila tidak diikuti dengan perangkat pendukungnya akan menjadi produk kurang bermanfaat. (widiawati/aditya)
Menurutnya, walaupun K-13 secara teoritis bagus untuk para siswa tetapi bila tidak diikuti dengan perangkat pendukungnya akan menjadi produk kurang bermanfaat. (widiawati/aditya)
0 Komentar
Penulisan markup di komentar