ENTAH KALKULATORNYA MERK APA
Senang banget bisa menanda-tangani Surat Kesepakatan Bersama untuk 3 lokasi proyek sekaligus, yaitu di Palangkaraya, Bandung, dan Banjarmasin. Ini kejadian tahun 2013 yang lalu. Kesepakatan itu saya tanda-tangani dengan seorang juragan besar yang punya lahan miliknya sendiri sekaligus sanggup menyediakan modal kerjanya. Saya dapat saham goodwill 20%.
Action Plan juga sudah saya buat, dengan laba yang menarik dan disitu disebutkan bahwa saya dapat gaji dan tunjangan operasional Rp 5 juta/proyek. Jadi dari 3 proyek tersebut saya dapat Rp 15 juta/bulan. Urusan tiket pesawat, transportasi, akomodasi dll selama saya mengurusi proyek ini saya tanggung sendiri.
Jangan lihat angkanya. Dari nilai segitu selain terpakai untuk beli tiket pesawat, biasanya saat saya datang inspeksi ke proyek, duitnya juga terpakai buat mentraktir anak buah untuk makan-makan atau sing song bersama. Yang masuk kantong hanya sisanya saja kisaran 20%.
Oh ya, kebiasaan saya adalah justru memberikan alokasi gaji tertinggi kepada Project Manager yang saya tempatkan disitu dan incharge everyday. Artinya profesional tersebut adalah orang yang saya tunjuk dan bekerja dibawah mentoring saya. Saya yang tidak hadir secara fisik hanya memikul tanggung jawab saja terhadap mitra pemodal dan pemilik tanah. Saya tak mau mengambil budget gaji melebihi Project Manager.
Sebulan berlalu. Saya sempat ke Palangkaraya 2 hari, ke Banjarmasin 1 hari, ke Bandung 2 hari. Hari lainnya saya pakai untuk mengurusi proyek-proyek lain yang sedang saya kembangkan. Sejak awal si juragan yang jadi mitra saya tersebut tahu persis bahwa saya adalah praktisi properti yang punya banyak mitra dan kembangkan banyak proyek di berbagai kota.
Saat akhir bulan tiba, kami ajukan pencairan biaya gaji. Maksudnya gaji saya dan gaji karyawan proyek. Kaget banget ketika saat uang dikirim, alokasi gaji saya cuma disetujui 3 jt saja (kalau gaji karyawan disetujui penuh). Alasannya karena saya cuma hadir 5 hari saja. Jadi dibayar proporsional 5/25 x 15 jt = 3 jt.
Saya komplain, dan oleh mitra saya tersebut saya diminta berurusan dengan anaknya perempuan yang baru saja lulus magister bisnis di Amerika. Katanya urusan ini dia limpahkan ke anaknya tersebut. Saya sudah berbicara baik-baik, tapi dia tetap bersikeras bahwa jika saya mau menerima gaji penuh, maka saya harus ngantor 25 hari sebulan, meski boleh berpindah-pindah lokasi proyek.
Hahaha ... Saya tertawa tapi juga tersenyum kecut. Rupanya saya dianggap pegawainya yang diperhitungkan dengan BASIS HARI KERJA, bukan berdasar BASIS KINERJA (hasil). Jadi upah saya dibayar jika saya hadir. Jika tidak hadir maka saya tidak dibayar upahnya.
Lha berarti saya nombok dong, dibayar 3 juta harus beli tiket pesawat sendiri, hotel sendiri, ke Bandung, Banjarmasin dan Palangkaraya. Belum lagi biaya karaoke makan-makan bersama anak buah. Ini jelas tidak cocok dengan mindset saya yang memposisikan diri saya sebagai pengusaha, bukan pegawai. Ya andaikata dia tak mau anggap saya sebagai mitra pengusaha, setidaknya anggap saya sebagai konsultannya. Yang tak punya kewajiban ngantor setiap hari.
Saya geleng-geleng kepala. Anak juragan ini kalkulatornya merk apa ya? Koq hitungannya pelit bener. Apa layak dan wajar mengkondisikan saya dalam posisi defisit? Meski status dia lebih tinggi karena punya tanah dan punya modal, tapi perlu diingat bahwa dia juga butuh profesional untuk mengelola proyeknya. Tanpa profesional, tak ada yang eksekusi di lapangan.
Ini hukum keseimbangan. Selama tak ada azas fairness, mana bisa sebuah hubungan berlanjut. Kondisi tak nyaman membuat saya memutuskan untuk pergi. Beberapa personil yang saya datangkan dari Jawa juga langsung saya ajak exodus. Saya mengirimkan email tentang mundur secara sepihak dari kesepakatan yang ditanda-tangani. Dan untuk penegasan saya menelpon sang juragan bahwa saya pamit. Bye bye ...
Beberapa personil yang saya tarik dari 3 proyek tersebut kemudian saya tempatkan di proyek lain yang juga dibawah saya.
Barangkali ada yang mau menggantikan saya? Ntar saya rekomendasikan kepada pak juragan. Lumayan lho dapat profit 20% dan gaji 15 juta perbulan, hahaha ...
Sebulan berlalu. Saya sempat ke Palangkaraya 2 hari, ke Banjarmasin 1 hari, ke Bandung 2 hari. Hari lainnya saya pakai untuk mengurusi proyek-proyek lain yang sedang saya kembangkan. Sejak awal si juragan yang jadi mitra saya tersebut tahu persis bahwa saya adalah praktisi properti yang punya banyak mitra dan kembangkan banyak proyek di berbagai kota.
Saat akhir bulan tiba, kami ajukan pencairan biaya gaji. Maksudnya gaji saya dan gaji karyawan proyek. Kaget banget ketika saat uang dikirim, alokasi gaji saya cuma disetujui 3 jt saja (kalau gaji karyawan disetujui penuh). Alasannya karena saya cuma hadir 5 hari saja. Jadi dibayar proporsional 5/25 x 15 jt = 3 jt.
Saya komplain, dan oleh mitra saya tersebut saya diminta berurusan dengan anaknya perempuan yang baru saja lulus magister bisnis di Amerika. Katanya urusan ini dia limpahkan ke anaknya tersebut. Saya sudah berbicara baik-baik, tapi dia tetap bersikeras bahwa jika saya mau menerima gaji penuh, maka saya harus ngantor 25 hari sebulan, meski boleh berpindah-pindah lokasi proyek.
Hahaha ... Saya tertawa tapi juga tersenyum kecut. Rupanya saya dianggap pegawainya yang diperhitungkan dengan BASIS HARI KERJA, bukan berdasar BASIS KINERJA (hasil). Jadi upah saya dibayar jika saya hadir. Jika tidak hadir maka saya tidak dibayar upahnya.
Lha berarti saya nombok dong, dibayar 3 juta harus beli tiket pesawat sendiri, hotel sendiri, ke Bandung, Banjarmasin dan Palangkaraya. Belum lagi biaya karaoke makan-makan bersama anak buah. Ini jelas tidak cocok dengan mindset saya yang memposisikan diri saya sebagai pengusaha, bukan pegawai. Ya andaikata dia tak mau anggap saya sebagai mitra pengusaha, setidaknya anggap saya sebagai konsultannya. Yang tak punya kewajiban ngantor setiap hari.
Saya geleng-geleng kepala. Anak juragan ini kalkulatornya merk apa ya? Koq hitungannya pelit bener. Apa layak dan wajar mengkondisikan saya dalam posisi defisit? Meski status dia lebih tinggi karena punya tanah dan punya modal, tapi perlu diingat bahwa dia juga butuh profesional untuk mengelola proyeknya. Tanpa profesional, tak ada yang eksekusi di lapangan.
Ini hukum keseimbangan. Selama tak ada azas fairness, mana bisa sebuah hubungan berlanjut. Kondisi tak nyaman membuat saya memutuskan untuk pergi. Beberapa personil yang saya datangkan dari Jawa juga langsung saya ajak exodus. Saya mengirimkan email tentang mundur secara sepihak dari kesepakatan yang ditanda-tangani. Dan untuk penegasan saya menelpon sang juragan bahwa saya pamit. Bye bye ...
Beberapa personil yang saya tarik dari 3 proyek tersebut kemudian saya tempatkan di proyek lain yang juga dibawah saya.
Barangkali ada yang mau menggantikan saya? Ntar saya rekomendasikan kepada pak juragan. Lumayan lho dapat profit 20% dan gaji 15 juta perbulan, hahaha ...
0 Komentar
Penulisan markup di komentar